Cerita Pendek: Kembalinya Suasana Itu
Setiap kali aku
memandang foto itu, aku sangat mengharapkan kembali suasananya. Kehangatan
sinar matahari di tepi pantai. Langit jingga yang di hiasi awan yang indah.
Burung – burung yang pulang ke sangkarnya masing – masing. Dan para turis yang
menunggu indahnya matahari tenggelam. Dengan tambahan suara musik tradisional
yang enak di dengar. Serta candaan para adik dan kakakku. Senyumanku dan ayah
ibuku yang sedang bergembira. Sungguh indah dan hangatnya suasana itu. Ingin
rasanya aku mengulangi suasana itu.
Namun apa daya semua
sudah berubah, kakakku dan adikku bukan seperti yang dulu. Mereka menjadi
bersikap dingin antara satu sama lain, karena kejadian berdarah tersebut.
Kejadian yang merengut ribuan nyawa yang tidak berdosa, termasuk kedua anggota
keluargaku. Kejadian dimana nyawa manusia yang tidak berarti di tebas secara
paksa dengan organisasi itu. Organisasi yang tidak memiliki akal pikiran yang
sehat, yang tidak pernah berpikir tentang perasaan sesama manusia, yang hanya memikirkan
diri sendiri.
Organisasi yang
dipimpin oleh seorang pemimpin negara yang tidak punya perasaan, yang menindas
para rakyatnya. Dia tidak pernah memikirkan perasaan keluargaku. Bagaimana
tidak dia membunuh ayahku dan ibuku di depan mataku, kakakku, dan adikku yang
masih kecil.. Dia yang menembakan pistol tepat di kepala ayahku. “Hati – hati sayang”
itu adalah kata terakhir ayahku sebelum dia di tembak. Aku, ibuku, adikku, dan
kakakku hanya meratapi nasib masing – masing. Kami di ikat di depan jasad ayahku
yang tergeletak di tanah, Dengan darah yang berceceran di sana sini.
“ARHHH!!!! Tolong lepaskan kami Pak” Pinta ibuku. Namun
dia hanya tertawa lepas dan berkata “Oke aku akan melepaskanmu.” Dalam hatiku
aku hanya berpikir kenapa perkataan dan raut wajahnya aneh. Kenapa dia hanya
melepaskan ibuku saja. Kenapa tidak dengan kami. “Ayo ikut!!!” perintah seorang
pelayaan pemimpin.”Tidak, aku tidak mau” ronta ibuku. Namun pelayan itu mulai
mencengkram ibuku. Ibuku dibawa ke depan sebuah panggung. Aku heran dengan
maksud pelayan itu. Aku mencoba kesana namun aku di cegah oleh sebuah pistol
yang mengarah ke belakang kepalaku. Aku begitu kaget dan hanya memperhatikan
gerak – gerik ibuku yang seperti orang yang sangat ketakutan. Tiba – tiba
keluarlah dua orang perempuan pula. Perempuan itu umurnya sekitar 10 tahun
lebih tua oleh ibuku yang berumur 39 tahun. Perempuan itu juga di bawa di atas
panggung bersama ibuku. Perasaanku mulai gelisah, Aku hanya berdoa kepada tuhan
semoga tidak terjadi apa – apa dengan ibuku dan kepada kedua wanita tersebut.
Tiba – tiba ibuku menoleh ke arahku dengan senyuman yang sangat paling indah
yang aku pernah lihat. Lalu dia menatap ke atas, dan keluarlah tiga tali yang
sangat dikenal oleh para calon bunuh diri. Dipaksakannya ibuku masuk kedalam
tali tersebut. Namun ibuku meronta dan mencoba lari menuju kami. Dan saat
terlepas dari cengkraman para pelayan pemimpin.itu, Pistol yang mengarah
kepalaku lenyap, namun pistol itu justru mengarah ke ibuku, namun ibuku masih saja
lari menuju kami. “DORRRRR!!!!” aku hanya menangis, menyesal, betapa buruknya
aku ini, aku seperti orang yang tidak berguna di dunia ini, keyakinanku hilang
sirna entah kemana. Di depan kami jasad kedua orangku yang bergeletak di bawah,
dengan darah yang mengalir dikit demi sedikit menodai lantai putih itu. aku
berjanji kepada mereka, agar aku balaskan perbuatan pemerintah itu. Pemerintah
yang bodoh, tidak punya hati nurani, yang hanya mementingkan egonya saja.
Namun apa daya, aku
sudah berada di jurang paling dalam didunia. Aku berada di bawah janjiku yang
begitu tinggi. Namun aku bertekad, bahwa dengan perlahan tapi pasti aku pasti
bisa. Aku mulai mempererat tali persudaraanku. Pertama, aku bicara kepada kakak
dan adikku. Kakakku begitu diam dan hanya menatap ke bawah. Begitu pula dengan
adikku. “Kak, aku sudah capek dengan kalian berdua” Kataku. Mereka hanya
terdiam. “Ayo lah kak, dek?” Mereka masih saja terdiam. “Terserah kalian,
kalian mau ikut aku atau tidak?” kataku lagi. “Emangnya kamu mau kemana?” jawab
kakakku. “Aku ingin balas dendam kepada pemerintah itu!” terangku. “kamu sudah
gila apa? Orang tua kita tidak pernah mengajarkan kita tentang balas dendam
yang buruk!” Jawabnya. “Tapi aku sudah janji kepada diriku sendiri!” “Bodoh”
Kata kakakku, dan meninggalkan kami berdua. Aku kejar kakakku dan bicara
kepadanya “aku minta maaf”. “kamu tidak perlu minta maaf ke aku, minta maaflah pada
dirimu sendiri dan kedua orang tua kita” jawabnya. Aku menangis, aku peluk
kakakku aku tersenyum, Aku ereatkan pelukanku dan aku benamkan wajahku ke
dadanya, aku menangis dan merana di dirinya. Aku pandang wajahnya dan berkata “okelah,
kalau begitu”. Aku usap air mata ini dengan ketangguhan aku berjanji akan
memperbaiki hubungan ku dan keluarga ku yang tersisa ini.
Aku ajak kakakku menuju ke adek dan segera
merencanakan sesuatu. “Hey, gimana kalau besok kita pergi berkemah?” usulku. “Hem,
Gimana kalau kita pergi ke pantai saja?” usul kakakku dengan bahagia. “dek,
kamu mau usul apa?” Tanya kakakku. Aku lihat raut wajah adikku masih kelam, dan
aura kesedihan di wajahnya juga terlihat jelas. Aku mendekatinya dan
memeluknya. Adikku, langsung menangis di dekapanku. Aku lihat kakakku juga
terharu melihat kita, Akhirnya aku, adik, dan kakakku berpelukan dan memulai
hidup baru. “Bagaimana kalau besok kita pergi ke pantai dan berkemah di sana?”
usul adikku sambil mengisak tangisnya. “Oke, aku setuju dengan usulmu.” Jawabku.
“aku juga” jawab kakakku. Kita berpelukan kembali, entah megapa setelah kita
berpelukan kita merasa lega dan tertawa entah apa itu penyebabnya, kita hanya
memiliki perinsip “belajar dari masa lalu, menjalani masa sekarang, dan
mempersiapkan masa depan.”
Esok paginya aku awali
hari ini dengan senyuman dan berdoa kepada Allah SWT agar hari ini kita di beri
berkah, di beri keselamatan, dan kebaikan terhadap keluargaku ini. Saat aku
keluar dari kamar, aku melihat kakakku dengan riang menyapaku “pagi!” Aku dengan riang pula menyapanya “pagi!” Aku
merasa hari ini adalah hari yang indah. Aku mulai mandi terlebih dahulu. Lalu
kita makan bersama dengan senyuman dan raut wajah yang ceria. Setelah makan
bersama kita menuju mobil untuk berangkat menuju pantai yang biasa kita di ajak
ibu dan ayahku.
Saat kita buka pintu
rumah. Aku tarik nafas dalam – dalam, dan aku hembuskan secara perlahan. Bunga
bermekaran di pekarangan rumah kami, Kupu – kupu berterbangan dengan indahnya,
burung – burng bernyanyi dengan merdunya. Aku perhatikan kakakku dan adikku,
mereka berdua tersenyum. Tanpa aba – aba kami berlari menuju kedepan rumah,
dengan semangat 45 kami melontarkan “KAMI KEMBALI!!!” Kita segera menuju ke
mobil dan menaruh barang – barang kami yang sudah di siapkan bersama saat tadi
malam.
Perjalanan yang indah.
Kita isi perjalanan itu dengan nanyian kita semua. Kita mulai menyanyi dari
lagu nasional, lagu pop, lagu anak – anak, lagu daerah, hingga lagu yang di
ciptakan kami sendiri. Di perjalanan itu juga tanpa hambatan sedikit pun. Dan
saat kakakku lelah menyetir kita istirahat sejenak di pinggir jalan. Dengan
pemandangan sawah yang hijau, Bukit – bukit, sungai yang mengalir dengan
jernih, orang – orangan sawah yang tersenyum senang, cuaca yang cerah, indahnya
perjalanan ini. Karena sudah jam makan siang, kita semua mulai kelaparan, dan
akhirnya aku ambil bekal makanan dan minuman dari rumah dan aku berikan kepada
adik dan kakakku. Aku ingat sekali bila perjalanan seperti ini ibuku pasti
membawa bekal dari rumah untuk makan bersama dengan kami sekeluarga. Dan saat
kakakku dan adikku menerima makanan dan minuman mereka tersenyum dan tertawa
bersama, aku heran dengan mereka dan akhirnya aku ikut pula tertawa. Kita makan
bersama dengan kebahagiaan.
Setelah istirahat
sejenak kami melanjutkan perjalanan. Lalu adikku menyetel radio dan keluarlah
suara berita perjalanan. Aku agak heran apa maksud adikku ini. Tiba – tiba aku
tersenyum dan memandang wajah adikku. Dia membalas aku dengan senyuman. Saat
aku melihat kakakku dia agak heran dengan kelakuan kami. Aku tertawa lepas
dengan adikku dan kakakku pun ikut serta dalam tawaan kami. Biasanya saat
perjalanan seperti ini Ayahku menyetel radio yang tentang berita perjalanan.
Dan itu bagi aku, kakakku, dan adikku sangat lah membosankan, namun aku tau
maksud ayahku yang selama ini.
Jam empat sore. Itu
adalah jam yang paling tepat saat sampai di pantai ini. Dengan ombak yang
bergulung - gulung, Sinar matahari yang hangat,
awan – awan yang membentuk pola di langit yang begitu indahnya, angin yang
sepoi – sepoi, dan pasir yang berkilauan, itu hal pertama saat kita keluar dari
mobil. Kita lari menuju ombak dan berteriak “KITA SAMPAI!!!” Kita kejar –
kejaran bersama, kita main bersama, kita bangun tenda bersama, kita main bola
bersama. Dan saat sang surya mulai tenggelam. Kita duduk berjejer dan memandang
matahari yang tenggelam di lautan. Dengan perlahan tapi pasti matahari mulai
meninggalkan kita, dan dewi rembulan mulai menyapa kita. Dengan pengawal kecil
yang bertaburan di kerajaan malam membuat keindahan bersama keluarga di hari ini,
walau tidak lengkap sekalipun.
Aku dan adikku mulai
menata kayu bakar yang kita kumpulkan bersama di sore tadi. Sedangkan kakakku
mulai mengambil makanan kecil dan minuman ringan. Kita nyalakan bersama
kumpulan kayu bakar itu dengan api, dan tidak beberapa lama kemudian munculah
si merah. Kita bakar ikan di atas si merah yang menyala. Kita menyanyi bersama,
kita bercerita bersama kita puaskan malam itu dengan bercengkrama, berbahagia
bersama, tertawa bersama hingga kita kelelahan akibat kebersamaan kami yang
seperti baru menyambung. Kita mulai masuk ke dalam tenda . Aku matikan lampu
kecil, di dekat pintu tenda itu dan tertidurlah kami yang di temani bunyi
ombak, pasir putih yang berkilauan, dewi rembulan dan kerajaan malamnya yang
indah.
Aku bersyukur atas
kembalinya suasana itu dimana tawa kembali dari keluarga ini walau mungkin
tidak lengkap tanpa kedua orang tuaku. Tapi aku percaya orang tuaku bahagia
melihat kami seperti ini kembali. Dan aku merasa orang tua kami berada di sisi
kami. Walaupun kita tidak dapat melihatnya tapi kita bisa merasakan kasih
sayang mereka kepada kami, seperti ibu yang merawat kami, mulai dari bayi yang
kecil hingga menjadi seperti sekarang ini. Atau seperti ayah kami, yang pagi
hingga sore hanya mencari nafkah untuk memenuhi keluarga yang di cintainya. Dan
aku tetap merasakan kasih sayangnya. Selamat jalan ibu ayah berbahagialah di
sana, tunggu lah kami suatu saat nanti.
Komentar
Posting Komentar